Saya mendapatkan Artikel ini dari www.Wongalus.blogspot.com
Halaman web yang saya percaya dalam masalah spiritual
Banyak kalangan menganggap bahwa bertabarruk mencari berkah, mengharapkannya, dan meyakininya kepada benda mati dianggap musyrik. (berkah ( بَرَكَةٌ / barokah menurut bahasa Arab artinya adalah kebaikan). Banyak yang yakin bahwa perilaku bertabarruk tersebut tidak ada ayat di dalam Al Quran dan tidak ada acuan dalam As Sunah. Keyakinan tersebut biasanya dibenamkan lewat pendidikan agama yang diberikan oleh para ustadz.
Halaman web yang saya percaya dalam masalah spiritual
Banyak kalangan menganggap bahwa bertabarruk mencari berkah, mengharapkannya, dan meyakininya kepada benda mati dianggap musyrik. (berkah ( بَرَكَةٌ / barokah menurut bahasa Arab artinya adalah kebaikan). Banyak yang yakin bahwa perilaku bertabarruk tersebut tidak ada ayat di dalam Al Quran dan tidak ada acuan dalam As Sunah. Keyakinan tersebut biasanya dibenamkan lewat pendidikan agama yang diberikan oleh para ustadz.
Padahal
ada ayat al-Qur’an yang menyinggung tentang bolehnya kita
ber-tabarruk lewat benda mati. Surat Yusuf ayat 93 dan 96 adalah
acuannya. Diceritakan bahwa ayahnya Nabi Yusuf as. yaitu Nabi Ya’qub as.
menderita kebutaan sepeninggal anaknya—yaitu Yusuf ketika masih kecil.
Nabi Ya’qub mengalami kebutaan karena menangis siang dan malam meratapi
kehilangan anaknya yang paling dicintainya itu sampai beliau matanya
mengalami kebutaan. Pendek kata Nabi Yusuf memerintahkan seseorang untuk
membawakan baju gamis miliknya itu untuk diberikan kepada ayahnya.
Dalam al-Qur’an dituliskan sebagai berikut:
“PERGILAH
KAMU DENGAN MEMBAWA BAJU GAMISKU INI, LALU LETAKKANLAH DIA KE WAJAH
AYAHKU, NANTI IA AKAN MELIHAT KEMBALI; DAN BAWALAH KELUARGAMU SEMUANYA
KEPADAKU” (QS. Yusuf: 93)
“TATKALA
TELAH TIBA PEMBAWA KABAR GEMBIRA ITU, MAKA DILETAKKANNYA BAJU GAMIS ITU
KE WAJAH YAQUB, LALU KEMBALILAH DIA DAPAT MELIHAT. BERKATA YAQUB:
“TIDAKKAH AKU KATAKAN KEPADAMU, BAHWA AKU MENGETAHUI DARI ALLAH APA YANG
KAMU TIDAK MENGETAHUINYA”. (QS. Yusuf: 96)
Dengan
melihat kedua ayat itu sudah jelaslah bahwa bertabarruk menggunakan
benda-benda yang dimiliki oleh orang yang kita cintai apalagi orang itu
ialah seorang Nabi atau seorang suci sungguh boleh dan sudah menjadi
sunnah para Nabi.
Kita
lihat tadi di ayat yang saya bacakan bahwa ketika Nabi Yaqub meletakkan
baju gamis Nabi Yusuf ke wajahnya, maka beliau bisa melihat lagi.
Sungguh ajaib benar! Baju yang hanya benda mati; baju yang sama sekali
tidak mengandung obat; baju yang biasanya berfungsi untuk menutupi tubuh
dan aurat tiba-tiba menjadi obat mujarab bagi orang yang mengalami
kebutaan!
Sekali
lagi mencari keberkahan dari benda mati yang dimiliki oleh orang
tertentu itu bukan merupakan kelakuan atau perbuatan syirik. Mana
mungkin para Nabi yang sudah sangat mengenal tauhid tiba-tiba menjadi
orang-orang musyrik?
Selain
itu banyak hadits yang meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad membolehkan
kita bertabarruk kepada benda mati. Selain air wudlu, Nabi Muhammad juga
membagi-bagikan rambutnya untuk para sahabatnya hingga mereka bisa
ber-tabarruk melalui rambut itu. Seorang sahabat Salman al-Farisi
menyelipkan rambut itu di penutup kepalanya sedangkan sahabat yang lain
menyimpannya.
Imam
Bukhari meriwayatkan Sa’ab bin Yazid berkata: ’Bibiku membawaku kepada
Nabi dan ia berkata: “Keponakan saya dalam keadaan sakit”. Maka setelah
itu beliau mengambil air wudlu dan memohonkan berkah untuk saya, dan
saya meminum bekas air wudlunya”.
“Ahmad
bin Hanbal–pendiri madzhab Hambali–ketika sedang menimba ilmu dari
gurunya yaitu Imam Syafi’i, beliau membawa baju gamis milik Imam Syafi’i
dan merendamnya di dalam bak mandi. Ia berwudlu dari air itu dan
meminum air itu untuk mendapatkan keberkahan.
Kita
di Indonesia seringkali membawa air putih atau air mineral kepada
seorang kyai yang ilmunya serta kepribadiannya kita kagumi. Kita meminta
ustadz itu untuk mendo’akan kita dan air yang telah diberi do’a itu
kita bawa ke rumah. Kita kemudian meminum air itu atau memakai air itu
untuk keperluan mandi kita atau wudlu kita. Itu semua contoh yang
terjadi pada kaum Muslimin yang mengamalkan praktek tabarruk yang ada dalam Islam sejak dulu kala.
Bahkan
ada sejak sebelum lahirnya Rasulullah seperti yang kita lihat tadi
dalam al-Qur’an ketika Nabi Ya’qub ber-tabarruk dengan baju gamis
anaknya untuk kesembuhan kedua matanya.
MENGUKUR TUAH ’JIMAT’ JANGAN GUNAKAN ILMU PENGETAHUAN
Kita
tidak bia mengukur suatu ”tuah” dengan kacamata ilmu pengetahuan.
Sebagaimana baju gamis nabi Ya’qub atau air wudhu Nabi Muhammad, jelas
tidak perlu dikaji dengan ilmu pengetahuan modern. ”Tuah” sebuah benda
bisa jadi adalah cara Tuhan untuk menolong orang-orang miskin yang
terpinggirkan. Orang-orang miskin itu tidak memiliki cukup biaya untuk
berobat. Ada juga orang-orang
kaya yang sudah kehilangan harapan karena dokter-dokter yang mereka
kunjungi tidak bisa memberikan solusi yang baik untuk penyakit mereka.
Orang-orang
miskin dan orang-orang yang putus asa itu berdo’a siang dan malam agar
mereka diberikan kesembuhan. Kita tahu do’a orang-orang miskin tertindas
dan orang-orang teraniaya itu sangat mujarab. Dan Allah menjawab
do’a-do’a yang dipanjatkan lewat suara-suara serak orang-orang miskin
itu dengan mengirimkan tuah.
Oleh
karena itu, jangan pernah meremehkan apapun di dunia ini. Jangan
menganggap kecil sebuah petunjuk. Tidak perlu kita mengklaim atau
memvonis apa yang diutarakan orang itu sebagai tipu muslihat, sebab dulu
Nabi besar Muhammad SAW pun dulu dikecilkan, dilecehkan, disangka
penipu, dikira penyihir, dianggap pendusta. Orang-orang yang merasa
dirinya pintar mencoba meneliti kandungan tuah dan berkesimpulan bahwa
bukan tuah yang bisa menyembuhkan orang karena kandungan kimiawi yang
ada pada tuah itu sama saja dengan tuah lainnya.
Kalangan
akademisi kerap terjebak dalam kebodohan karena menguji
yang metafisik dengan cara dan alat yang fisik. Mereka
menguji keajaiban yang tentu saja tidak kasat mata dengan alat uji
laboratorium yang hanya mengindera sesuatu yang kasat mata atau indera.
Mereka mengira bahwa kandungan kimiawi yang ada di dalam tuah itulah
yang menyebabkan kesembuhan dan ketika mereka mengujinya di laboratorium
mereka kecewa karena tidak menemukan apa-apa di dalamnya. Tapi kemudian
mereka dengan pongah menyebutkan bahwa tuah ajaib itu sama sekali tidak
ajaib.
Bisakah mereka menjelaskan kandungan kimiawi apakah yang bisa membuat sebuah tongkat berubah menjadi ular?
Bisakah
mereka menjelaskan obat apa yang ditaburkan oleh Yusuf ke baju gamisnya
sehingga baju gamis itu bisa menyembuhkan kebutaan?
Bisakah mereka menjelaskan unsur-unsur kimiawi apa yang membuat tongkat Musa bisa membelah lautan?
Bisakah mereka menjelaskan kandungan ludah Nabi yang bisa menyembuhkan mata Ali yang sedang sakit pada peperangan Khaybar?
Bisakah mereka menguji keajaiban di bawah lensa obyektif sebuah mikroskop atau sebuah alat spektograf?
Bisakah? Bisakah dan bisakah?
@@@ Wong Alus
No comments:
Post a Comment